Prolog:
Al-Qur’an bersifat global (mujmal) yang memerlukan perincian. Misalnya
perintah shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat : aqimis shalat,
kutiba ‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang tatacara
mengerjakannya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Untuk menjelaskannya,
datanglah Rasulullah SAW memberikan penjelaskan, dari mulai tatacara shalat,
berrumah tangga, berekonomi sampai urusan bernegara. Penjelasan rasul itu
disebut Sunnah Rasul. Setelah Rasul wafat, permasalahan umat tetap
bermunculan misalnya persoalan bayi tabung, inseminasi, euthanasia, dll.
Persoalan demikian belum terakomodir di dalam Al-Qur’an maupun hadits, oleh
karena itu memerlukan sumber hukum yang ketiga, yakni ijtihad.
Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW dengan menggunanakan bahasa Arab. Agar fungsi Al-Qur’an sebagai
hidayah (guidance) atau way of life benar-benar efektif, maka Al-Qur’an
bukan saja perlu diterjemahkan tetapi perlu jiuga ditafsirkan. Cara menafsirkan
Al-Qur’;an bisa menggunakan dua pendekatan, yakni tafsir Tahlili dan tafsir
Maudhu’i. Kini banyak tokoh-tokoh Islam aliran rasional Liberal, yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi akal. Pendekatannya ada tiga yakni
tafsir Mateforis, tafsir Hermenetika dan tafsir dengan pendekatan Sosial
Kesejarahan.
Pembuktian Al-Qur’an sebagai Wahyu dalam Persepketif Sains :
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an yang berisi informasi tentang alam semesta
yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya
manusia, beberapa di antaranya adalah :
• Tentang awal kejadian langit dan bumi. Di dalam QS. 21 : 30 Allah
menegaskan : “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit
dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan
Kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
• Tentang pergerakan gunung dam lempengan bumi. QS :”Dan kamu
melihat gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak
sebagaimana geraknya awan”.
• “Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud
kepadaku”. Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa
planet itu ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada
sembilan planet. Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang
hanya mencari dan menemukannya. Pasti Allah yang benar. Baru pada
tahun-tahun terakhir ini para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada
sebelas.
Mana mungkin Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi ilmu
pengetahuan modern, seandainya Al-Qur’an bukan karya Allah. Ayat-ayat di
atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an pasti karya
Allah, firman Tuhan bukan karya nba Muhammad SAW.
Bahasa Al-Qur’an :
Allah menegaskan “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa
Arab”. Ini penegasan dari Allah SWT, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa Arab,
bahasa yang dipakai oleh nabi Muhammad dan oleh masyarakat Arab. Tujuannya
sudah pasti agar Al-Qur’an mudah difahami.
Akan tetapi, menurut Isa Bugis, Al-Qur’an bukan bahasa Arab tetapi bahasa
wahyu. Alasannya adalah karena Muhammad adalah keturunan nabi Ismail dari
isteri kedua, sehingga Muhammad berdarah Babylon, bukan berdarah Arab asli dengan
demikian maka bahasa nabi Muhammad adalah bukan bahasa Arab tetapi serumpun
dengan bahasa Arab, itulah yang disebut "bilisáni qaumih" (berbicara
dengan bahasa kaumnya).
Menurut penulis, pendapat di atas tidak tepat. Alasan pertama, sebagaimana
dijelaskan oleh Ismail al-Faruqi adalah bahwa, suku Arab asli (al-‘Aribah)
ialah suku Qanaan, Ya‘rub, Yasyjub dan Saba'. Kemudian datanglah suku Arab
Musta‘ribah I (Pendatang I), yakni suku ‘Adnan, Ma’ad dan Nizar. Lantas datang
pula suku Arab Musta‘ribah II (Pendatang II) yakni suku Fihr atau Quresy. Jadi
suku Quresy adalah bagian dari Suku Arab, bukan suku lain. Suku-suku
pendatang lantas berbaur dan mempelajari bahasa yang ada yakni bahasa Arab,
bukan mempelajari bahasa Babylon.
Alasan kedua, Bangsa Arab termasuk bangsa Semit. Dewasa ini yang disebut
dikatagorikan bahasa Semit adalah setengah kawasan bagian Utara, bagian
Timurnya berbahasa Akkad atau Babylon dan Assyiria, sedangkan bagian Utara
adalah bahasa Aram, Mandaera, Nabatea, Aram Yahudi dan Palmyra. Kemudian di
bagian Baratnya adalah Foenisia, Ibrani Injil. Di belahan Selatan, yakni di
bagian utaranya berbahasa Arab sedangkan sebelah selatan berbahasa Sabe atau
Hymyari, dan Geez atau Etiopik. Hampir semua bahasa di atas telah punah , hanya
bahasa Arab yang masih hidup".
Apakah ada bahasa selain Arab yang serumpun dengan bahasa arab dapat dilihat
antara lain dari bentuk hurufnya. Huruf Arab ternyata berbeda sekali dengan
dengan huruf bahasa Foenesia, Aramaea, Ibrani, Syiria Kuno, Syiria Umum, Kaldea
dan Arab. Para pembaca bisa melihat perbedaan huruf-huruf tersebut pada buku
"Atlas Budaya" karya Ismail Al-Faruqi bersama isterinya.
Al-Qur'an menggunakan huruf Arab bukan huruf lainnya, dengan demikian maka
bahasa dan tulisan Al-Qur'an memang mutlak bahasa Arab bukan bahasa yang
serumpun bahasa Arab. Kalau mau dikatakan serumpun maka harus dikatakan
serumpun dengan bahasa Semit bukan serumpun bahasa Arab. Sebagai tambahan
penjelasan, menurut Ismail Al-Faruqi, bahasa Semit yang masih hidup sampai saat
ini adalah bahasa Arab. Dengan demikian maka bahasa Al-Qur'an adalah bahasa
Arab, bahasanya orang Arab bukan serumpun dengan bahasa Arab.
Hujjah lain dari kelompok Isa Bugis adalah bahwa jika Al-Qur’an berbahasa Arab
maka semua orang Arab pasti mengerti Al-Qur’an, tetapi pada kenyataannya tidak
semua orang Arab mengerti Al-Qur’an, kalau begitu Al-Qur’an bukanlah bahasa
Arab.
Hujjah inipun lemah. Mengapa demikian? Keadaan ini sama saja dengan orang
Indonesia. Tidak semua orang Indonesia mampu memahami karya sastera berbahasa
Indonesia, ini karena buku-buku sastera itu menggunakan bahasa Indonesia kelas
tinggi.
Pada umumnya orang-orang Arab dalam percakapan mereka sehari-hari menggu-nakan
bahasa Arab Yaumiyah sedangkan Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab Fushá. Di
samping itu untuk dapat memahami suatu teks tidak cukup dengan mengetahui kosa
kata (mufradat) tetapi harus berbekal ilmu pengetahuan tentang isi teks.
Sarjana sastera Indonesia misalnya, tidak otomatis dapat memahami teks
buku-buku Ilmu Kimia. Begitu pun sarjana Kimia tidak otomatis memahami teks
tentang filsafat. Untuk mampu memahami teks ilmu pengetahuan, harus memiliki
syarat-syarat, antara lain memahami substansi materi, memiliki frame of
reference yang teratur, serta memiliki paradigma berfikir yang menunjang.
Ketidakmengertian sebahagian orang Arab terhadap teks-teks Al-Qur’an tidak
menunjukkan bukti bahwa Al-Qur’an bukan bahasa Arab.
Hujjah ketiga Isa Bugis adalah bahwa kata ‘Arabiyyan dengan doble ya merupakan
ya nisbat yang menunjukkan serumpun dengan bahasa Arab tetapi bukan bahasa
Arab. Sepengetahuan penulis, kata ‘arabiyyan berarti bahasa yang dinisbahkan
kepada orang Arab, atau bahasanya orang Arab, yakni bahasa Arab.
Wahbah Zuhayly, ketika menafsirkan ayat tersebut menyataklan bahwa kata
‘arabiyyan bermakna “nuzila bilisánin ‘arabiyyin mubân, yaqra-u bi lugah
al-‘arabi”, yang artinya al-Qur’an diturunkan dengan lisan orang
Arab, di baca dengan bahasa Arab. Senada dengan itu, Muhammad Ibn Muhammad Abu
Syahbah dalam bukunya: ”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” menjelaskan
bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab ‘arabiyyah al-akbar atau kitab berbahasa Arab
yang maha besar.
Kelompok Isa Bugis pun lantas beralih dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an bahasa
Quresy bukan bahasa Arab. Pendapat demikian ditentang oleh Ahmad Satori sebagai
doktor dalam sastra Arab. Ia menegaskan bahwa bahasa orang Arab adalah bahasa
Arab. Perbedaan bahasa Quresy dengan bahasa suku Tamim dan lain-lainnya
hanyalah dalam dialek bukan dalam makna.
Dengan demikian hujjah Isa Bugis yang menyatakan al-Qur'an bukan bahasa Arab,
seluruhnya tertolak.
Fungsi Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama,
yakni sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán
(pembeda). Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang
harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan
yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan
tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka
sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an
benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan cerita yang dibuat-buat
(QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola
bumi.
Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan yakni hukum
alam dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk menampakkan
kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah
‘aláddini kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah
atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai
maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh
para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.
Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan
tentang apa-apa yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya
sebagai bayyinát, Al-Qur'an harus dijadikan rujukan semua peraturan
yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab
sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat trial and error.
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang
haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai
yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang
kufurr.
Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá,
bayyinát maupun furqán secara mendalam, maka Al-Qur’an perlu
dipelajari bagian demi bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 :
16-17, QS. 17 : 105-106), memahami munásabah atau hubungan ayat yang satu
dengan yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain.
Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep
dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya,
akan tetapi walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu
benar mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah
kebenaran otoritas. Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep
dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha
Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk
sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus
dilaksanakan, sebab kalau menunggu dapat memahaminya secara penuh
bisa keburu mati.
Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan
agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak
tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian
pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan
(feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar
seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan
dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya
dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
Cara menafsirkan Al-Qur’an :
Untuk memahami isi atau pesan Al-Qur’an yang terkandung dalam seluruh ayat
Al-Qur;an tidak cukup dengan terjemah, sebab terjemah hanyalah alih bahasa,
tetapi perlu melakukan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.
Dilihat dari caranya, dikenal dua macam penafsiran yakni tafsir tahlili
dan tafsir maudhui.Tafsir Tahili ialah menafsirkan Al-Qur’an secara runtut,
ayat perayat, dari mulai surat Al-Fátihah ayat pertama sampai surat An-Nás ayat
terakhir, tanpa terikat oleh tema, judul atau pokok bahasan. Sedangkan tafsir
Maudlu‘i ialah penafsiran berdasarkan tema-tema yang dipilih sebelumnya.
Caranya semua ayat yang berkaitan dengan tema (maudlu’i) yang dibahas
diinventarisir tanpa terikat oleh urutan surat, kemudian disistimatisir dan
ditafsirkan sehingga antara ayat yang satu dengan ayat yang lain saling
melengkapi pembahasan tema. Misalnya pembahasan tentang Riba, maka seluruh ayat
yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan masalah riba, diinventarisir
kemudian dibahas menurut sub-sub tema sehingga sampai kepada kesimpulan.
Dilihat dari pendekatannya, tafsir terbagi dua, yakni Tafsâr bi al-Ma’`tsur dan
Tafsirr bi al-Ma‘qul. Yang dimaksud Tafsir bi al-Ma’`tsur ialah menafsirkan
ayat dengan ayat atau dengan hadits. Sedangkan Tafsir bi al-ma‘qul adalah
penafsirkan al-Qur’an dengan logika. Tafsir kedua ini sering juga disebut
tafsâr bi ar-Ra’yi. Jadi yang dimaksud dengan tafsir bi ar-Ra’yi adalah
menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan dalil-dalil logika.
Dari sisi perspektifnya, tafsir Al-Qur’an juga beragam corak Apabila penafsiran
Al-Qur’an dilihat dari persepektif cabang ilmu pengetahuan tertentu seperti
psikologi, sosiologi, Biologi, dll, maka disebutlah tafsir ‘lmi.
Sedangkan apabila didekati dari perspektif tasawuf disebutlah tafsir Tasawuf .
Penafsiran Al-Qur’an kelompok Rasional Liberal :
Kini muncul kelompok orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi rasio
yang biasa dikenal dengan sebutan kelompok rasional liberal. Mereka menggunakan
tiga pendekatan yakni tafsir Metaforis, tafsir Hermenetika dan pendekatan
sosial kesejarahan.
Tafsir Metaforis :
Tafsir metaforis ialah mengambil makna kiasan misalnya ada pernyataan
“Tikus-tikus dipenjara.” Pernyataan ini tidak rasional, maka kata tikus
dimaknai koruptor. Demikian pula pernyataan bahwa tongkat (asha) nabi Musa
menjadi ular dianggap tidak rasional, karena kalau tongkat bisa menjadi ular
berarti telah mengubah sunnatullah padahal sunnatullah tidak akan pernah
berubah.
Supaya rasional, maka diambillah makna kedua dari kata ‘asha yakni pegangan.
Dengan demikian maka pernyataan menjadi :” Musa melemparkan pegangan
(baca: agama Islam) ke tengah-tengah masyarakat . Agama Musa tersebut ternyata
sanggup mengalahkan isme/ agama (ular-ular) ahli sihir, sehingga agama Musa
menang lantas menyebar cepat sekali, menjalar-jalar bagaikan ular.
Demikian pula pernyataan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa nabi Ibrahim a.s tidak
mempan dibakar api, adalah pernyataan tidak rasional, sebab tidak mungkin api
yang panas menjadi dingin. Karena kalau demikian berarti sunnatullah api
berubah. Supaya rasional, maka pernyataan tersebut harus diitafsirkan sbb
: “ Ibrahim dibakar oleh suasana masyarakat yang sangat panas bagaikan api”.
Selintas upaya rasionalisasi Al-ur’an ini bagus sekali tetapi ketika ditanya,
“Bagaimana tafsir bahwa nabi Isa lahir dari rahim Maryam yang perawan. Apakah
rasional ?”. Pati kelompok ini tidak sangat sulit menjawab secara tepat dan
rasional.
Tafsir Hermenetika :
Ialah menafsirkan ayat al-Qur’an dari sisi batini. Contoh : Tidak ada
satu ayat pun bahkan satu hadits pun yang melarang perbudakan. Akan tetapi
banyak sekali ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan bahwa apabila seorang
muslim melakukan pelanggaran atas aturan tertentu, ia terkena finalti, yakni
harus memerdekakan seorang hamba sahaya (budak belian). Kalau begitu pada hakikatnya,
pada sisi batininya Al-Qur’an melarang perbudakan. Sampai di sini dapat
difahami. Akan tetapi kemudian bergeser kepada persoslan poligami.
Menurut kelompok Rasional Liberal, Allah memang memerintahkan seorang pria
muslim untuk menikah dengan perempuan yang baik akhlaqnya sampai batas maksimal
empat orang isteri. Akan tetapi Al-Qur’an sendiri langsung menjelaskan bahwa
apabila kamu khawatir berbuat tidak adil, lebih baik satu isteri saja.
Bahkan hadits nabi menjelaskan bahwa pria yang tidak bersikap adil dalam
berpoligami, di akhirat kelak akan berjalan merangkak dengan lidah yang
menjulur. Kalau begitu – demikian kelompok rasional Liberal – pada
prinsipnya pernikahan dalam Islam adalah monogamy dan mengharamkan poligami.
Padahal poligami dilaksanakan oleh nabi dan banyak para sahabat nabi. Bagaimana
mungkin para sahabat tidak memahami pesan batini Al-Qur’an.
Pendekatan Sosial Kesejarahan :
Menurut kelompok Rasional Liberal, hukum itu berkembang sesuai dengan
perkembangan sosial. Contoh : Pada zaman jahiliyah, kaum wanita tidak
mendapatkan harta pusaka (warisan). Datanglah Islam. Islam memandang cara
demikian sangat tidak adil, maka Islam mengatur bahwa wanita mendapatkan
warisan tetapi setengah dari bagian pria. Diatur demikian, karena apabila
wanita yang semula tidak memperoleh warisan, tiba-tiba mendapat bagian yang
sama dengan pria, besar kemungkinan akan mengakibatkan heboh nasional. Itu
dulu, empat belas abad yang silam. Sekarang zaman sudah berubah, oleh karena
itu perlu ada reinterpretasi terhadap konsep adil, apalagi wanita zaman
sekarang bukan lagi pihak yang tertanggung tetapi pihak yang menanggung. Oleh
karena itu pula, akan sangat memenuhi prinsip keadilan apabila bagian
perempuan sama besar dengan bagian laki-laki.
Muncullah pertanyaan bagi kelompok Rasional Liberal :” Apakah adil itu adalah
sama rata atau proporsional ?”. Apakah warisan bagi perempuan sebesar setengah
dari bagian laki-laki yang Allah tetapkan dinilai tidak adil sehingga perlu
direvisi ? Bukankah aturan Islam itu telah sempurna ?”. Kalau aturan Allah
masih perlu revisi, mengapa Allah tidak menurunkan nabi yang baru ?”.
Pendapat-pendapat kelompok rasional liberal yang lebih didominasi oleh akal/
ratio telah mendapatkan penentangan hebat dari para pemikir Islam lain yang
tafaqquh fiddin.
Kritik Terhadap Upaya Rasionalisasi dalam Menafsirkan Al-Qur’an :
Sebenarnya upaya rasionalisasi tafsir Al-Qur’an bukanlah hal baru, misalnya
penafsiran Muhammad Abduh tentang surat al-Fil yang berbeda dengan tafsiran
terdahulu. Menurut tafsir Ibn Abbas dan lain-lain, burung Abábil itu melempar
pasukan gajah dengan batu dari neraka (sijjil), Setiap burung membawa tiga
butir batu, dua butir di kedua kakinya dan satu butir di paruhnya. Batu
tersebut adalah batu kecil dari tanah yang membara. Tetapi Muhammad Abduh
dengan tafsir metaforis rasionalnya berpendapat lain, menurutnya sijjil
bukanlah batu dari neraka tetapi berupa virus. Dengan serangan virus itulah
tentara Abrahah menjadi sakit parah dan akhirnya mati.
Rasionalisasi Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan tafsir Metaforis, misalnya
tentang mukjizat nabi Musa. Nabi Musa memukulkan tongkat ke laut sehingga
terbelah menjadi jalan. Menurut kelompok rasional itu tidaklah mungkin
sebab menyalahi sunnah Allah. Sunnah Allah yang bergerak di dalam hukum
kausalitas merupakan ketetapan yang pasti, tidak berubah. Demikian juga ketika
nabi Ibrahim dibakar tetapi tidak mati gara-gara apinya menjadi dingin, padahal
sifat api sebagai sunnah Allah adalah panas. Dengan demikian tidak mungkin api
yang panas menjadi dingin karena kalau begitu sunnah Allah tentang api telah
berubah. Kalau sunnah Allah berubah maka hukum alam pun berubah, kalau hukum
Alam berubah-ubah maka tidak dapat dibuat rumus-rumus ilmu Alam, kalau begitu
ilmu Alam tidak lagi menjadi ilmu pasti.
Untuk mengomentari ini, ada baiknya dikedepankan dulu pandangan Din Syamsudin.
Menurut Din, dalam mengkonseptualisasikan Islam, umat Islam menghadapi dua
problema intelektual. Pertama, ketika Islam diyakini sebagai agama yang
berlandaskan wahyu, umat Islam dihadapkan kepada problema yang menyangkut
hubungan akal dengan wahyu. Kedua, ketika Islam diyakini sebagai kehidupan,
umat Islam dihadapkan kepada persoalan hubungan antara agama dan persoalan
kehidupan (sekuler).
Upaya rasionalisasi ayat Al-Qur’an dalam batas-batas tertentu sah-sah saja
karena Islam memang rasional sehingga Islam itu diperuntukkan bagi orang-orang
yang berakal (Ad-Din al-Aql). Namun batasan rasional atau tidaknya, logis atau
tidaknya sesuatu kejadian sangat tergantung kepada kemajuan berfikir dan
kebudayaan termasuk perkembangan sains teknologi yang berkembang saat itu.
Dalam hal ini Richard Thamas (1993) dalam bukunya berjudul “:The Passion of
Western Mind” menulis sebuah judul “The Crisiss of Modern Science” menyatakan
bahwa ilmu Barat yang spektakuler itu ternyata menghadapi krisis antara lain
setelah sekian ratus tahun meyakini “certainty principle”, salah satu basic
sains tentang kepastian hubungan sebab – akibat atau “if X, then Y” tetapi pada
perkembangan berikutnya ternyata ada juga “Uncertainty principle”. Kausality
ternyata terlalu simplistik. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling
mempengaruhi tanpa dihayati bagaimana hubungan kausality di antara
mereka. Bahkan menurut Thomas Kuhn, dalam sains terdapat akumulasi data
yang bertentangan yang akhirnya menimbulkan krisis paradigma dan setelah itu
timbullah suatu sintesis yang imajinatif, yang akhirnya memperoleh rekognisi
ilmiah, sedangkan yang terjadi ke arah itu bersifat non-rasional. Karena itu
ilmu pengetahuan yang sekarang dianggap sebagai sesuatu yang relatif. S
Sebenarnya alam sebagai fakta dengan segala hukumnya adalah absolut, tetapi
ilmu pengetahuan alam yang ditemukan manusia bersifat relatif. Sebagai contoh,
bahwa Al-Qur;an menjelaskan bahwa planet itu ada sebelas (ihda ‘asyrata
kaukaban), tetapi para ahli astronomi menyebutkan hanya sembilan. Demikian
puluhan tahun pendapat itu mendominasi. Kemudian ditemukan lagi satu planet
sehingga berjumlah 10, kini terakhir ditemukan satu planet lagi sehingga
menjadi sebelas. Jadi jumlah planet sebagai fakta adalah absolut namun
pengetahuan manusia tentang planet bersifat relatif.
Di samping itu perlu difahami bahwa ada perbedaan antara pengetahuan
(knowledge) dan ilmu (science). Dalam kesimpulan penulis, pengetahuan itu bisa
benar bisa salah. Pengetahuan yang benar disebut al-‘ilmu atau haq, sedangkan
pengetahuan yang salah disebut persepsi atau opini. Pendek kata, pada
hakikatnya, kebenaran (al-haq, al-‘ilmu) adalah mutlak, absolut, sedangkan yang
berbeda-beda adalah persepsi orang tentang kebenaran.
Manusia dengan rasionya berusaha mencari kebenaran (ilmu). Caranya, setiap data
yang masuk ke otak akan diolah dengan paradigma berfikirnya sehingga menjadi
sebuah pengetahuan (kesimpulan), tetapi apakah kesimpulan itu sebagai ilmu atau
hanya persepsi belumlah pasti. Karena itu wajar kalau kesimpulan seseorang
tentang sesuatu suka berubah-ubah. Teori yang hari ini dianggap benar tetapi
beberapa tahun kemudian direvisi bahkan dibuang. Dalam proses menemukan
kebenaran itu, manusia sering harus menempuh kesalahan-kesalahan yang banyak
tiada terhingga, atau bersifat trial and error.
Untunglah turun wahyu. Fungsi wahyu adalah untuk membantu manusia agar jangan
terlalu lama atau jangan terlalu sulit menemukan kebenaran, terutama dalam
persoalan-persolan metafisika atau tentang hakikat sesuatu. Dan sangat mungkin
kalau hanya mengandalkan kekuatan nalar semata, terlalu banyak hal yang tak
dapat ditemukannya padahal ilmu sangat penting dimiliki untuk bekal di dunia
ini, misalnya apa arti hidup, apa itu mati, bagaimana setelah mati, apa itu
syetan dan bagaimana sikap manusia terhadap syetan. Wahyu memberikan informasi
seputar masalah-masalah di atas yang tidak mungkin dapat ditemukan melalui
penelitian empirik.
Dalam pandangan penulis, manusia dengan rasio yang berfikir berlandaskan
kausality, tidak dinilai serba mampu untuk mencapai segenap ilmu, karena rasio
memiliki daya deteksi yang terbatas. Oleh karena itu, apabila rasio dijadikan
sebagai ukuran segenap kebenaran agaknya terlalu riskan.
Dengan hubungan kausality sebagaimana dijelaskan di atas, di Barat hanya
dikenal dua katagori ilmu, yakni Empirical Science (ilmu Empirik) dan Rational
Science (ilmu rasional) Empirical science adalah manakala kebenarannya yang
bersumber kepada indera terutama mata, dengan kata lain dapat dilihat,
diobservasi atau dibuktikan melalui eksperimen, misalnya ilmu kedokteran,
Fisika, Kimia, Biologi, dll. Jika dalam uji coba tersebut tidak terbukti
berarti teori itu salah.
Sedangkan Rational science ialah kebenaran yang bersumber kepada rasio
(akal). Benar tidaknya sesuatu diukur oleh signifikansi hubungan antara sebab
dan akibat. Apabila terjadi hubungan sebab dan akibat yang jelas, maka itu
dikatakan logis, rasional dan dianggap benar. Tetapi jika hubungan antara sebab
dan akibat itu tidak nampak jelas maka dinilai tidak rasional dan salah.
Di luar Empirical science dan Rational science adalah belief (kepercayaan)
semata-mata dan bukan ilmu. Jadi berita tentang bangkit dari kubur, jin,
malaikat, termasuk cerita tentang mukjizat, karena persoalan tersebut tak dapat
dibuktikan dengan indera maupun dengan rasio, maka dinyatakan bukan ilmu
melainkan sekadar kepercayaan.
Apakah paradigma demikian bisa digunakan dalam memahami Islam?. Ini nampaknya
agak sulit. Kalau kita menganalisis dengan teliti ilmu-ilmu atau aturan yang
terdapat dalam Al-Qur’an, akan banyak ditemukan ilmu-ilmu yang mungkin dinilai
tidak rasional karena antara sebab dan akibat hukum, sering tidak terdeteksi.
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang agak sulit difahami, agak sulit
mencari hubungan sebab – akibat. Sebagai contoh Allah mengharamkan babi.
Pertanyaannya adalah mengapa babi itu diharamkan, apa sebabnya. Ini sangat
sulit dijawab. Paling-paling jawabannya adalah karena memang Allah telah
menetapkan demikian, titik.
Keharaman babi berbeda dengan keharaman arak (khamr). Haramnya arak mudah
difahami oleh akal karena arak dapat mengakibatkan mabuk dan merusak otak.
Penetapan hukum haram atas arak sangat logis – rasional. Demikian juga
sebab-sebab haramnya zina, berjudi, membunuh – walaupun Al-Qur’an tidak menjelaskan
sebab akibatnya – tetapi akal/ rasio sudah bisa memahaminya. Lain lagi
perihal air liur anjing. Hadits ini menyatakan :
Dari Abâ Hurairah r.a ia berkata, telah
bersabda Rasulullah SAW, bersih-kanlah bejana salah seorang di antaramu,
apabila dijilat anjing dengan membersihkan sebanyak tujuh kali, salah satunya
dengan tanah (HR. Muslim).
Hadits serupa berasal dari ‘Ali ibn Hujr al-Sa‘dy, dari ‘Ali ibn Mushâr, dari
A‘masy, dari Abâ Razain dan Abâ Shálih dari Abâ Hurairah. Juga dari Mu\ammad
ibn Rafi’, dari Abd Razaq, dari Ma‘mar, dari Hamam ibn Munabbah, dari Abâ
Hurairah.
Menurut hadits di atas, kalau bejana dijilat anjing maka wajib dibasuh tujuh
kali, satu kali menggunakan tanah. Pertanyaannya adalah mengapa harus dengan
tanah bukan dengan sabun. Apakah hal itu karena di zaman nabi belum mengenal
sabun? Tentu tidak sesederhana itu jawabannya. Namun untuk dapat memahami mengapa
harus dicuci dengan tanah memang sangat sulit.
Hal ini besar kemungkinan berkaitan dengan unsur-unsur karbon yang sangat
beragam dalam tanah. Multi karbon sangat efektif dalam menghilangkan racun
termasuk virus rabies, sedangkan sabun hanya mengandung beberapa karbon saja
yang mustahil dapat membunuh virus rabies.
Muncul lagi pertanyaan, mengapa kalau anjing menjilat bejana, bejana itu harus
dibasuh tujuh kali di antaranya satu kali dengan memakai tanah. Tetapi ketika
berburu kelinci menggunakan anjing terlatih (mu‘allam), terus anjing ini
menggigit kelinci, tidak ada satu hadits pun yang mengharuskan mencuci leher
kelinci bekas gigitan anjing itu dengan tanah. Mengapa demikian?” Selintas
pertanyaan ini menyudutkan dan sulit dijawab. Akan tetapi apabila ditanyakan
kepada ahlinya, rahasianya dapat agak terbuka.
Dapat kita bandingkan dengan bisa ular. Apabila manusia digigit oleh ular
kobra, maka dalam beberapa menit saja manusia bisa mati, padahal hanya sedikit
saja bisa ular yang masuk melalui pagutan itu. Lain halnya dengan bisa yang
sengaja diperas dari mulut kobra itu. Apabila bisa ular itu diperas dari
mulutnya kemudian ditampung pada gelas lantas diminum, ternyata tidak berbahaya
bahkan justeru menjadi obat. Kasus ini kurang lebih sama dengan air liur
anjing tadi. Air liur yang keluar ketika anjing menjilat dan ketika tetap dalam
mulutnya, terdapat perbedaan besar.
Contoh lain ialah tentang puasa. Orang yang sering menahan lapar bisa terkena
penyakit maag, tetapi tidak demikian dengan menahan lapar karena puasa. Kalau
perut sangat lapar dapat mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, tetapi tidak
demikian kalau lapar karena puasa. Kalau perut sedang lapar akan sulit tidur,
tetapi kalau perut lapar karena puasa justeru nikmat tidur. Mengapa demikian?
Contoh lainnya masih tentang puasa adalah bahwa ketika Nabi berbuka puasa, Nabi
ta‘jil (mempercepat buka puasa) hanya memakan tiga biji kurma bukan dengan
makan yang banyak. Mengapa demikian? Menurut ilmu kedokteran, ketika berpuasa,
lambung (maag) itu kosong. Dengan berbuka menggunakan kurma (manis) akan mempercepat
pembakaran dan segera dapat mengganti glukosa (gula darah) yang berkurang
selama puasa. Mengapa hanya tiga kurma? Dengan kurma yang sedikit yang masuk ke
dalam lambung, maka darah akan mengalir ke lambung sebagai energi sehingga
lambung bisa bekerja dengan baik. Setelah lambung memiliki energi yang cukup
kuat barulah diisi dengan makanan yang banyak, sehingga lambung bisa
menjalankan fungsinya dengan baik. Berbeda jika lambung itu langsung diisi
dengan makanan yang banyak tanpa “pemanasan”, maka lambung memerlukan banyak
darah sehingga darah dari otak akan turun ke lambung, akibatnya otak kekurangan
darah, ini berarti otak kekurangan oksigen sehingga jadi mengantuk.
Dengan mengetengahkan contoh-contoh di atas, penulis bermaksud meminta
perhatian bahwa apa-apa yang dilakukan nabi yang menyangkut diniyah walaupun
untuk sementara waktu dinilai kurang rasional namun jangan tergesa-gesa
menolaknya. Sebab ukuran rasional dan tidaknya sesuatu sangat tergantung kepada
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dengan demikian, tidak boleh
hanya karena akal manusia belum bisa menemukan hubungan sebab akibatnya, lantas
dengan serta merta ajaran Islam (ayat Al-Qur’an) yang dianggap tidak rasional
(untuk sementara waktu) itu ditafsirkan sesuai dengan selera penafsir.
Kejadian yang lebih sulit lagi manakala kita ingin mengetahui logis tidaknya
mukjizat. Misalnya Nabi Ibrahim a.s dibakar tidak merasa panas, Tongkat
Nabi Musa a.s menjadi ular, serta Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi’raj. Apabila
kejadian ini diukur dengan ilmu dalam batasan rasional, maka pasti akan
dianggap irrasional dan kemudian ditolak. Tidak heran kalau kelompok pemikir
Rasional menyatakan mukjizat seperti itu hanyalah mitos doktrinal, tidak ubah
dongeng Lampu Aladin (fiktif). Dan karena anggapannya itu,
mereka lebih suka melakukan reinterpretasi dengan pendekatan rasional
metaforis.
Seandainya semua hal harus rasional, lantas bagaimana dengan Isa (Yesus) yang
lahir dari rahim Maryam yang masih perawan, tanpa suami dan tanpa berbuat zina.
Apakah ada tafsiran yang lain?
Kejadian yang aneh di luar kebiasaan yang sulit difahami seperti mukjizat
bukanlah ilmu Empirik karena tidak dapat diulang-ulang melalui kegiatan
eksperimen, Bukan pula Ilmu Rasional karena interrelasi sebab – akibatnya sulit
ditemukan, tetapi termasuk dalam katagori ilmu Suprarasional atau kejadian
Supranatural. Kebenarannya hanya dicapai dengan hati (qalbu) yang percaya, atau
bisa disebut haqq al-yaqân.
Apalagi kalau menyangkut persoalan siksa kubur, alam Mahsyar, syurga dan neraka
yang sama sekali tidak bisa dijangkau akal, bahkan tak dapat dibayangkan.
Kebenaran ilmu tersebut hanya dibuktikan dengan ruh yakni setelah manusia mati.
Ilmu yang demikian disebut dengan Metarasional. Dalam paradigma Al-Qur’an
disebut Ilmu Gaib.
Berdasarkan kajian-kajian yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa
sebenarnya ilmu itu ada empat macam bukan dua sebagaimana dalam pemikiran di
Barat. Keempat macam ilmu itu adalah ilmu Empirik (‘Ain al-yaqin), Ilmu
Rasional (‘Ilmu al-yaqin), Suprarasional (Haqq al-yaqin) dan Metarasional
(‘ilmu al-Ghaib). Dalam terminologi lain, Ilmu Empirik dan ilmu Rasional
dikatagorikan Ilmu Bayány. Ilmu Suprarasional merupakan ilmu Burhány, sedangkan
Metarasional disebut ilmu ‘Irfány.
Di luar yang empat itu ada yang disebut irrasional, yakni manakala kejadian
tersebut sangat mustahil menurut akal, misalnya dikatakan bahwa benda itu diam
dan pada saat yang sama benda itu bergerak. Ini irrasional. Termasuk ke dalam
irrasional adalah tahayyul. Irrasional bukanlah ilmu tetapi tahayyul (hayalan)
atau kepercayaan tak berdasar.
Di dalam ajaran Islam, banyak sekali
perintah dan larangan nabi yang seakan tidak masuk akal sehingga beberapa ulama
melakukan rasionalisasi melalui penafsiran metaforis.
Lantas apakah sesuatu yang tidak dimengerti harus ditaati juga? Sebenarnya
manusia banyak melakukan perbuatan bukan karena mengerti tetapi karena percaya.
Sebagai contoh, seorang professor doktor di bidang agama akan tetap menggunakan
resep dari dokter walaupun tulisan pada resep itu tidak dapat dibaca dengan
matanya dan tidak dapat difahami dengan otaknya. Ia menaati resep dokter bukan
karena mengerti tetapi karena percaya. Begitupun dengan Al-Qur’an yang
berfungsi sebagai resep, obat (syifá), maka kalau sementara ini akal belum
mampu menerima apa yang dikandung oleh Al-Qur’an, sebaiknya diterima saja
dahulu, nanti di saat kemudian, apa-apa yang dianggap tidak rasional sangat
mungkin menjadi rasional juga. Jadi pada dasarnya baik suprarasional maupun
metarasional seluruhnya masih dalam koridor rasional.
Apakah tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX termasuk kepada tafsir bi
ar-Ra’yi yang diancam neraka?.
Untuk mengetahuinya sangat perlu terlebih dahulu memahami kriteria tafsir
bi ar-Ra’yi yang diperbolehkan.
Menurut Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Tafsâr fâ Qawá‘id
‘ilmi at-Tafsâr”, dijelaskan bahwa para sahabat biasa menafsirkan Al-Qur’an
dengan ra’yu, hal ini dilakukan apabila mereka tidak menemukan tafsirnya dalam
hadis mutawátir, juga tidak terdapat dalam Ijma‘ ulama”.
Adapun tafsâr bi ar-Ra’yi yang dilarang adalah min gair ‘ilm (tanpa
imu) tetapi sekadar mengikuti selera. Tafsir ra’yu tidak boleh
kalau meninggalkan pemahaman yang sudah biasa difahami dari
lafaÑ-lafaÑ Al-Qur’an .
Apabila mencermati tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX, maka segera
dapat diketahui bahwa penafsiran mereka tanpa mengikuti kaidah-kaidah baku
penafsiran yang telah disepakati oleh para ulama, terutama ulama Salaf.
Berdasarkan kriteria tafsir bi ar-ra’yi di atas, maka tafsâr bi ar-ra’yi
NII KW IX secara akademis tidak dapat diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar